Bersumber
dari
http://surabaya.tribunnews.com
SURYA Online, PASURUAN-Bulir-bulir keringat mengucur deras dari
dahi hingga turun menyusuri dagu Agustian Tatogo (20). Pemuda asal
Nabire, Papua ini tiba di Pos Lantas Pandaan, Kabupaten Pasuruan setelah
bersepeda dari Surabaya, Minggu (30/12/12). Usai memarkir sepedanya,
Agustian lalu melepas beban ransel seberat 10 kg yang menggantung di
punggungnya. Beberapa kali ia terlihat menyeka keringat yang membasahi
wajah dan lengannya.
“Saya mahasiswa jurusan Matematika Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saya
bersepeda dari Jogjakarta menuju Malang. Semalam (Sabtu, 29/12/12) saya
singgah di Surabaya dan pagi ini (Minggu, 30/12/12) tiba di Pandaan,”
begitu ia memperkenalkan diri kepada petugas Pos Lantas Pandaan dan
wartawan, Minggu (30/12/12).
Sembari masih menyekap keringat yang
belum kering, Agustian menceritakan pengalaman perjalanannya dari
Jogjakarta hingga Pandaan. Dengan sepeda bekas yang dibelinya dengan
harga Rp 200.000, Agustian ingin mewujudkan mimpi melihat keelokan alam
Pulau Jawa. Ia penasaran dengan kemajuan Pulau Jawa yang berbeda sekali
dengan kemajuan pembangunan di Papua.
“Saya penasaran dengan
bangunan-bangunan di Pulau Jawa. Misalnya, saya ingin sekali menyaksikan
kemegahan Jembatan Suramadu, dan akhirnya saya bisa menyaksikan
Suramadu dari dekat. Tapi sayang sekali saya tidak sempat
menyeberanginya. Lain kali saya pasti akan menyeberanginya dan singgah
di Madura,” ujarnya.
Kecintaan Agustian terhadap Tanah Air
Indonesia begitu kental. Hal ini terlihat dari bendera Merah Putih yang
ia pasang di bagian belakang sepedanya, serta dari ceritanya mengenai
ketakjubannya terhadap alam Indonesia di perjalanannya antara Yogyakarta
hingga Pandaan. Tak hanya itu, anak ketiga dari empat bersaudara ini
juga mengagumi keramahan orang Jawa.
“Mereka ramah sekali. Ketika
saya lelah bersepeda dan butuh tempat untuk tidur, tanpa meminta mereka
dengan ikhlas memberikan tempat tidur bagi saya. Ini pengalaman yang
luar biasa bagi saya. Indonesia tak hanya indah alamnya, tapi orangnya
juga ramah-ramah,” puji Agustian.
Dari Yogyakarta, Agustian
berangkat pada tanggal 20 Desember. Rencananya ia akan merayakan Natal
di Kota Malang bersama kawan-kawannya dari Papua yang kuliah di Kota
Malang. Namun, karena perjalanan molor akibat sering singgah di
daerah-daerah, Agustian pun terpaksa merayakan Natal di Nganjuk, di
Gereja Santo Paulus. Meskipun ia merayakan Natal seorang diri, jauh dari
sahabat dan keluarga, namun Natal di Nganjuk adalah yang paling
berkesan baginya.
“Natal di Nganjuk adalah kado yang luar biasa
buat saya. Pengurus gereja dan warga setempat sangat welcome kepada
saya. Mereka sudah menganggap saya sebagai bagian dari mereka. Natal di
Nganjuk akan saya kenang sepanjang hidup saya,” ungkapnya.
Selama
perjalanan, Agustian selalu singgah untuk istirahat di kantor polisi.
Tak hanya itu, ia juga tak lupa meminta tanda tangan kepada petugas
terkait serta minta foto bareng sebagai tanda pernah singgah. Kepada
Surya, ia menunjukkan sebuah buku kecil yang berisi catatan perjalanan
yang dibuktikan dengan tanda tangan petugas serta stempel kepolisian dan
tempat wisata yang disinggahinya.
“Ketika capek dan tidak
menemukan kantor polisi, saya selalu singgah di rumah penduduk, gereja,
dan masjid. Mereka pun tidak keberatan,” katanya.
Disinggung
mengenai rute terberat, Agustian mengungkapkan, saat melewati Ngawi ia
harus bersusah payah dengan mengeluarkan tenaga ekstra besar. Pasalnya,
medan jalan di Ngawi banyak tanjakan dan berkelok-kelok. Namun,
keindahan alam membuatnya tetap kuat meneruskan perjalanan. “Rute di
Ngawi mirip di Papua, banyak tanjakan bukit-bukit dan berkelok-kelok.
Sejak masih sekolah di Papua, saya juga sering bersepeda,” kata lulusan
SMA YPPK Adhi Luhur Kolose Le Cocq d’Armandville, Nabire, Papua ini.
Mahasiswa
semester lima ini, mengakui, ketika lulus dari kampusnya nanti ia akan
kembali ke Papua untuk menjadi guru di bekas SMA-nya. Menurutnya, guru
di kampung halamannya jumlahnya sangat sedikit. Hal inilah yang
membuatnya bertekad untuk mengabdi sebagai guru ketika lulus nanti.
“Jika lulus kuliah, saya akan mengajar di bekas sekolah saya, dan saya
harus meninggalkan Pulau Jawa. Inilah yang sangat menyedihkan, karena
harus meninggalkan Pulau Jawa beserta penduduknya yang ramah dan
makanannya yang enak,” katanya.
Diakuinya, sejak 2010 ketika
menginjakkan kakinya di Yogyakarta untuk pertama kalinya, Agustian belum
pernah pulang ke Papua untuk menyambangi keluarganya. Selain jaraknya
yang jauh, juga dikarenakan ongkos perjalanan yang terbilang mahal. Saat
berangkat dari Papua ke Yogyakarta, ia hanya ‘mampu’ naik kapal laut.
“Waktu
itu saya naik kapal. Perjalanan selama tujuh hari, ongkosnya Rp
700.000. Sampai saat ini, saya belum sempat pulang ke Papua lagi. Saya
hanya bisa menelpon keluarga saya di Papua, itu pun terakhir kalinya
pada Maret lalu, karena di Papua sinyal masih buruk,” akunya.
Ditambahkannya,
selama perjalanan bersepeda dari Yogyakarta ke Pandaan, sepeda yang
ditungganginya belum sekali pun mengalami kerusakan. Padahal, dari
pemandangan kasat mata, sepeda itu terkesan buntut dan ‘tidak layak’
digunakan untuk perjalanan jauh lintas provinsi. “Sejauh ini sepeda saya
masih baik-baik saja,” pungkasnya sembari melakukan packing untuk
melanjutkan perjalanan ke Kota Malang.